TEBO – Dalam agenda sidang lanjutan, Perkara yang menyeret Syamsu Rizal (Iday), Kali ini masih dalam agenda pembuktian. Dalam agenda ini Iday, hadirkan ahli yaitu Dr. Mahmud Mulyadi S.H., M.Hum dari Universitas Sumatera Utara
Dalam Agenda pembuktian, Terdakwa Iday, Dr. Mahmud Mulyadi S.H., M.Hum, di persidangan mengulas perihal tindak pidana penyertaan sebgaimana dimaksud dalam Pasal 55 KUHP dan Pembantuan pada Pasal 56 KUHP
Apabila dikaitkan dengan peran terdakwa dalam perkara ini, terdakwa seharusnya tidak dapat dikategorikan sebagai pelaku turut serta/penganjur pidana penebangan pohon tanpa izin sebagaimana didakwakan oleh JPU.
Karena, Menurut Mahmud Mulyadi, untuk menjadi pidana penyertaan/pembantuan, harus ada tujuan, kepentingan dan kehendak sadar dari sipelaku, termasuk harus adanya kesepakatan untuk melakukan tindak pidana antara orang yang melakukan dengan orang yang melakukan penganjuran/menyuruh lakukan.
“Semua itu harus dibuktikan dipengadilan, Jika itu tak bisa dibuktikan maka orang tak bisa dipidana”, katanya.
Selain itu alat bukti yang diajukan JPU berupa bukti pesan singkat (SMS) dan bukti transfer, itu tak bisa berdiri sendiri harus dikuatkan dengan alat bukti lain misalnya keterangan saksi.
Kemudian berkenaan dengan penetapan kawasan hutan, Berdasarkan penelusuran ahli, benar memang di Jambi ini telah ditetapkan kawasan hutannya oleh Menhut pada tahun 2014.
Namun dalam penyampaian nya ahli yakin bahwa secara administratif, belum dilakukan penyelesaian hak-hak pihak ketiga sebagaimana diatur dalam Permenhut Nomor P.44 /menhut-II/2012 sebagaimana yang dirubah dengan P.62 /Menhut-II/tahun 2013 tentang pengukuhan Kawasan Hutan.
Perusakan hutan, Ini tak bisa diterapkan, karena secara administratif belum selesai, pidananya baru bisa jalan jikalau orang-orang yang didalam hutan itu sudah didata dan sudah diselesaikan hak-haknya namun orangnya tetap ngeyel menebangi disitu, baru bisa dijalankan pidananya.
Penetapan kawasan hutan bukan cara negara untuk merampok hak masyarakat yang terlanjur mendiami kawasan hutan, Jadi kalau memang belum selesai urusan negara dengan pihak ketiga yang mendiami kawasan hutan itu.
“Jangan masyarakat di pidanai pakai pasal pada UU pencegahan perusakan hutan ini, Karena ini administratif penal law, Pidana harus jadi upaya terakhir (Ultimum Remidium), Penjara penuh nanti kalau pidana seperti ini diterapkan tanpa menelusuri aspek administrasinya”, pungkasnya. (Fahmi)