Nasional – Bank Dunia atau World Bank baru saja menyetujui pinjaman baru sebesar 500 juta dollar AS yang diajukan pemerintah Indonesia.
Sebagaimana diberitakan Kompas.com, Sabtu (19/6/2021), utang baru itu akan digunakan untuk memperkuat sistem kesehatan nasional.
Beberapa di antaranya yakni penambahan tempat isolasi pasien Covid-19, tempat tidur rumah sakit, penambahan tenaga medis, lab pengujian, serta peningkatan pengawasan dan kesiapsiagaan menghadapi pandemi.
Selain itu, pinjaman dari Bank Dunia juga akan dimanfaatkan pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk memperluas program vaksinasi Covid-19.
Sebelumnya pada 10 Juni 2021 lalu, Bank Dunia juga sudah menyetujui utang baru yang diajukan pemerintah Indonesia sebesar 400 juta dollar AS.
Sehingga total utang baru yang ditarik Indonesia selama Juni 2021, yakni sudah mencapai sebesar 900 juta dollar AS atau setara dengan Rp 13,04 triliun (kurs Rp 14.480).
Lantas, tepatkah keputusan penarikan utang baru tersebut?
Keringanan bunga pinjaman
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira menilai, kebijakan penarikan utang baru itu tidak tepat.
Menurutnya, ketimbang menambah utang baru, justru yang harusnya dilakukan adalah mengajukan fasilitas penghapusan pokok pinjaman atau keringanan bunga pinjaman kepada kreditur seperti Bank Dunia.
“Iya jelas kurang pas. Penambahan utang sebaiknya dilakukan secara hati-hati,” kata Bhima saat dihubungi Kompas.com, Sabtu (19/6/2021) siang.
Penambahan utang, ujarnya, memiliki implikasi, terlebih dalam kurs asing terhadap beban bunga dan pokok yang harus dibayar.
Pada saat ini, beban bunga utang diperkirakan naik menjadi Rp 373 triliun per tahun atau setara 25 persen penerimaan pajak.
“Apalagi proyeksi Rupiah melemah akibat taper tantrum maka beban bunga utang pinjaman luar negeri akan naik signifikan,” jelas dia.
Komitmen Bank Dunia dan IMF
Bhima menuturkan, IMF dan Bank Dunia berkomitmen mengurangi beban utang negara-negara yang terdampak pandemi Covid-19.
Komitmen itupun juga telah didukung pernyataan Sekjen PBB Antonio Guterres yang meminta kepada para kreditur agar utang negara berpendapatan menengah untuk ditunda pembayarannya hingga 2022.
Dikatakan Bhima, Indonesia saat ini juga turun kelas dari negara berpendapatan menengah atas menjadi negara berpendapatan menengah ke bawah karena pandemi.
“Karena turun kelas (downgrade) maka Indonesia masuk dalam kategori negara yang pembayaran utangnya bisa ditunda,” kata dia.
“Langkah ini bisa dimulai dengan membuka renegosiasi utang mirip seperti Paris Club atau skenario debt swap. Debt swap yakni menukar utang yang ada dengan program misalnya dengan Jerman soal pendidikan dan Italia soal rekonstruksi pasca-bencana tsunami Aceh,” imbuh Bhima.
Menurut Bhima, pandemi Covid-19 merupakan sebuah bencana yang seharusnya menjadi kesempatan untuk mengurangi beban utang, bukan sebaliknya.