Oleh: Putra Agung
Juri III FTR 2021
Pekan lalu, saya bersama Bang Iswadi Pratama (sutradara-Teater Satu Lampung) dan Bang EM Yogiswara (sutradara-pembina Teater AiR Jambi) diberikan amanat oleh UPTD Taman Budaya Jambi untuk menjadi juri Festival Teater Remaja (FTR) tahun 2021 yang diikuti oleh 11 peserta. Kesebelas peserta berasal tidak hanya dari Kota Jambi, melainkan juga datang dari Kabupaten Muaro Jambi. Saya juga sempat mendapatkan informasi bahwa Kabupaten Merangin dan Batanghari sempat mendaftarkan diri namun pada hari akhir pendaftaran malah mengundurkan diri sebagai peserta FTR.
Ini kali ketiga Taman Budaya Jambi (TBJ) melaksanakan FTR di Provinsi Jambi. Untuk tahun 2021 ini, perhelatan FTR cukup spesial dikarenakan para peserta memainkan lakon dari tiga belas naskah pilihan yang menang dalam lomba pembuatan naskah drama yang juga digelar TBJ pada tahun lalu.
Secara personal, saya sangat mengapresiasi langkah TBJ yang telah sudi memuliakan naskah tulisan hasil karya anak Jambi sehingga mudah-mudahan kedepan para penulis muda semakin terpacu dan bersemangat membuat berbagai naskah drama lainnya, juga menulis puisi maupun cerpen.
Usai menyaksikan penampilan dari para peserta selama tiga hari, kami selaku dewan juri berdebat, berdiskusi panjang jelang pengumuman pemenang. Semua itu dilakukan demi menemukan para pemenang yang betul-betul layak menang dengan penilaian secara profesional, proposional, objektif, adil dan bertanggung jawab. Secara umum, penilaian yang kami lakukan meliputi tiga aspek utama yaitu (1) Pemeranan, (2) Penataan dan (3) Penyutradaraan.
Saat ini para pemenang FTR tahun 2021 telah diumumkan panitia namun dewan juri memiliki sejumlah catatan perbaikan dan masukan yang kelak mungkin dapat dilakukan demi peningkatan kualitas kekaryaan pada bidang seni pertunjukan.
CATATAN
- Pelajari Ilmu Keaktoran
Menjadi aktor bukan pekerjaan mudah namun tidak juga sulit asalkan benar-benar mau mempelajari ilmu keaktoran, selalu berproses, rajin bertanya, tidak anti kritik, suka membaca dan gemar menyaksikan pertunjukan kelompok lain serta salah satu hal yang terpenting, tidak berpuas diri sekaligus memiliki adab yang baik.
Menjadi aktor tidak sebatas membacakan dialog diatas panggung. Lebih dari itu, seorang aktor sebelum naik ke panggung harus memahami isi, konsep, latar belakang hingga esensi naskah yang dimainkan. Dilanjutkan dengan pemahaman secara utuh mengenai karakter dari peran yang dimainkan sembari berdiskusi secara intens dengan penulis naskah serta sutradara selaku penanggung jawab pertunjukan.
Apakah selesai? Tentu saja belum. Seorang aktor (tak peduli latar belakang pendidikannya) harus menguasai ilmu keaktoran, minimal dasar-dasar keaktoran agar mengetahui secara detail apa itu blocking , respons, momentum, improvisasi, gimik, gestures, eksplorasi properti, gestikulasi kalimat, pernafasan, ketubuhan, logika gerak, vokalitas, logika dialog, ruang imajinatif, struktur dramatik, premis, komposisi, penjiwaan, dan lain sebagainya.
Kenapa semua itu penting? Karena aktor adalah seniman yang mewujudkan sebuah peran didalam sebuah lakon ke realita seni pertunjukan; karena aktor adalah orang yang mengubah kisah menjadi peristiwa.
Aktor merupakan mesin penggerak dari sebuah pertunjukan sehingga seorang aktor tak hanya sebatas membacakan dialog, tidak sekedar melucu saat tuntunan naskah menulis adegan komedi atau lucu. Mengutip kalimat Bang Iswadi Pratama, jangan sampai ‘upaya aktor melucu yang membuat penonton merasa lucu’.
Aktor tidak boleh berpura-pura dan hanya mendemonstrasikan emosi psikologis yang palsu diatas panggung. Aktor dituntut mampu menciptakan kebenaran peran sehingga ketika berperan sebagai pekerja tambang dalam lakon “Aluang”, aktor tidak hanya membuat penonton TAHU bahwa ia berakting sebagai buruh kasar tambang tetapi YAKIN bahwa ia benar-benar pekerja tambang emas (knowing and believing).
Bagi seorang teaterawan, belajar menjadi aktor adalah proses sepanjang hayat. Setiap hari kita menjadi ‘aktor’. Didepan orang tua kita berperan menjadi anak, ketika di kampus kita berperan sebagai mahasiswa, saat bersama istri kita berperan sebagai suami, berada di kantor kita berperan sebagai staf atau pimpinan. Hanya di hadapan Tuhan kita harus jujur dan tidak berakting.
- Lakukan Riset dan Penataan
Tindakan observasi merupakan langkah awal yang harus dilakukan sebelum menggelar pertunjukan. Mulai dari observasi pemeranan, riset latar belakang peristiwa, pengamatan mengenai seting waktu, tempat dan suasana cerita. Tujuannya, pendalaman karakter untuk seorang aktor. Bagi sutradara, riset dapat mempertajam konsep pemanggungan dan kerja penataan artistik, musik, busana hingga cahaya.
Aktor yang mendapatkan peran sebagai wanita yang diperkosa dalam lakon “Hanya Setetes Noda” tentu saja akan memiliki gimik, gesture, gerak tubuh yang berbeda dengan wanita kebanyakan. Alhasil, saat aktor telah melakukan observasi maka ia setidaknya memiliki “ingatan emosional” terkait peran tersebut. Observasi dapat dilakukan secara langsung, bisa juga melalui tayangan film/video, membaca buku atau novel yang berkaitan dengan peran yang dimainkan.
Bagi sutradara dan para penata, proses riset akan melahirkan rancang pertunjukan yang baik sebelum dipentaskan. Saat akan memainkan lakon “Seribu Satu Topeng”, seorang sutradara harus yakin dan paham dengan konsepnya. Jika sutradara memilih pola tradisi, sejauh apa pola tradisi yang dipakai? bagaimana bentuk topengnya? Apa bahannya, kulit, kayu atau kain? Apa pilihan tata musiknya? Bagaimana cara ucap aktornya, pola pengadegannya ? Diambil dari tradisi mana? Apa kostumnya? Properti artistik apa saja yang TERPAKAI? , dan lain sebagainya.
Penataan juga harus dilakukan agar semua elemen berjalan dengan imbang. Penataan artistik merupakan bagian tim produksi yang didalamnya terdapat beberapa divisi diantaranya set studio, design, wardrobe, make up dan property. Setiap divisi memiliki tanggung jawab yang berbeda namun bersifat satu kesatuan untuk mendukung kelancaran pertunjukan.
Untuk kebutuhan pertunjukan, maka penataan artistik harus membuat konsep artistik dan daftar apa saja yang diperlukan. Mulai dari seting dekorasi panggung, properti yang akan digunakan, make-up para aktor, busana yang akan dikenakan, dan lain sebagainya. Semuanya harus dicatat dan didiskusikan bersama pimpinan produksi serta sutradara. Penting untuk diingat supaya tak memakai properti artistik yang tak digunakan diatas panggung serta semata-mata menjadi pemanis tanpa dipakai ataupun dieksplor oleh para aktor.
Seorang penata artistik juga harus mendengarkan dengan seksama volume efek bebunyian atau musik pendukung pertunjukan. Hal ini dikarenakan musik yang bagus malah dapat mengganggu pertunjukan bila terlalu keras, menciptakan distorsi serta tidak ditata dengan baik. Selain itu, seorang sutradara harus berdiskusi panjang dengan para pemain, apakah efek bunyi yang dihadirkan mampu menstimulasi permainan aktor atau hanya sekedar tempelan belaka. Hindari pula kebiasaan menggunakan musik atau backsound yang bersifat komersial. Selain berkaitan dengan hak cipta, hal ini juga menunjukan ketidaksiapan sebuah sanggar dalam membuat pertunjukan. Tak hanya itu, penggunaan musik atau backsound komersil juga bisa mengurangi penilaian dalam sebuah perlombaan.
Penataan artistik juga dilakukan pada seting panggung dengan menekankan penggambaran 1) suasana atau keadaan peristiwa lakon, 2) dimana peristiwa lakon terjadi, 3) kapan terjadinya
peristiwa lakon tersebut terjadi. Begitu pula dengan busana yang dikenakan para aktor. Penata artistik harus mampu mengidentifikasi dan mengetahui karakter sebuah peran, berapa usianya, apa sifatnya agar busana yang dipakai sesuai dengan peran yang dimainkan.
Make-up dari para aktor juga tak bisa asal-asalan dan harus mempertimbangkan sejumlah aspek. Mulai dari 1) karakter sebuah peran dalam pertunjukan, 2) bentuk wajah aktor, 3) jenis bahan
rias yang digunakan, 4) bentuk baju yang dikenakan, serta 5) tata panggung yang dihadirkan. Kostum maupun make-up seorang aktor bisa membantu seseorang aktor untuk meyakinkan
penonton (believing) tentang peran yang dimainkannya
Semua pertanyaan dan kesulitan diatas dapat terjawab dengan riset yang sungguh-sungguh diimbangi dengan komunikasi serta kesadaran yang baik antar semua pihak yang terlibat dalam sebuah pertunjukan, sebab teater merupakan sebuah kerja kolektif yang menjauhi one man show didalamnya.
- Penguasaan Vokal yang Baik, Artikulasi yang Jelas & Tepat Suasana
Bagi seorang aktor, memiliki suara yang merdu bukanlah keharusan meskipun itu memang menjadi kelebihan. Paling penting, seorang aktor mesti mempunyai vokalitas yang baik dengan artikulasi yang baik dan penggunaan yang tepat suasana.
Vokal yang baik berarti aktor harus mampu mengucapkan kata didalam dialog dengan lantang, tenang, serta bersemangat agar penonton bisa dengan jelas menyimak pun memahami kalimat yang disampaikan sehingga peristiwa pertunjukan bisa didedahkan secara paripurna. Vokal yang baik menjadi keharusan bagi seorang aktor, terlebih lagi bila didalam pertunjukan memakai bebunyian, musik ataupun backsound pendukung.
Aktor juga dituntut menyampaikan kata dalam dialog dengan artikulasi yang jelas agar kata maupun kalimat yang disampaikan bisa didengar penonton tanpa terjadi kesalahan pemahaman. Kata “Mas Darmin” dalam lakon “Dalam Diam” bisa terdengar “Mas Parmin” oleh penonton bila tidak disampaikan dengan artikulasi yang jelas.
Seorang aktor juga harus menggunakan dan mengeksplorasi suara/vokalnya dengan “tepat guna dan suasana”. Artinya, vokal dengan cara ucap yang sesuai dengan kebutuhan suasana naskah. Ketika seorang penjaga kantor dalam lakon “Burung Hantu” bersikap genit kepada salah seorang guru, mungkin diucapkan dengan nada berayun dan lembut. Bahkan perasaan batin saat seorang dukun mengalami trance dalam lakon “Sintung Palalaw” bisa diresapi penonton bila suara yang keluar “tepat guna dan tepat suasana”.
- Memperdalam Ilmu Penyutradaraan
“Leadership as a Performing Art“, itulah yang ditulis Andrew O’Connell dalam Harvard Business Review. Leadership (kepemimpinan) dalam sebuah komunitas/kelompok teater dihadirkan melalui sosok sutradara dan pimpinan produksi. Kepemimpinan dan kemampuan seorang sutradara sangat mempengaruhi baik-buruknya sebuah komunitas/kelompok teater beserta pertunjukan yang diproduksi. Itu berarti menjadi sutradara dengan kerja penyutradaraan juga sebuah seni, tidak bisa asal jadi, grasa-grusu dan harus berbasis proses, pengalaman batin, pemahaman serta ilmu pengetahuan.
Siapapun mampu menjadi sutradara, (sekali lagi tak peduli apapun latar belakangnya) asalkan memiliki kemauan belajar, berusaha, dan berproses. Menjadi sutradara berarti memiliki kesadaran penuh untuk bertanggung jawab serta kemauan berkerja keras sebab sutradara harus melalukan tafsir lakon, memiliki konsep yang jelas, mempunyai alasan dalam memilih aktor, memberi pengarahan dan bertanggung jawab atas masalah artistik pun teknis dalam pementasan, berkerjasama dengan baik bersama penulis naskah, penata artistik, musik suara hingga penata cahaya hingga memiliki kejelian serta daya khayal yang tinggi agar mencapai sebuah pertunjukan yang baik.
Ilmu penyutradaraan bisa dipelajari secara langsung melalui jalur sekolah seni. Dapat juga dipahami secara otodidak dengan membaca buku-buku metode penyutradaraan diimbangi dengan tradisi bertanya, berguru kepada mereka yang sudah terlebih dahulu terjun di dunia penyutradaraan serta yang paling penting, rutin berproses menyutradarai karya pertunjukan dan tak hanya menjadi ‘sutradara dalam rangka’ .
Selain itu, untuk menjadi sutradara idealnya sudah pernah menjadi aktor atau pernah bermain peran di sejumlah karya. Ini penting kalau tidak mau disebut harus, sebab bagaimana sutradara bisa men-direct seorang aktor bila ia tak pernah menjadi aktor.
Sutradara dalam FTR 2021 didominasi anak-anak muda yang belajar secara otodidak sehingga wajar bila masih ada kekurangan disana-sini. Lebih dari itu, menjumput kalimat Bang EM Yogiswara, keberanian dan semangat para milenial untuk menyutradarai merupakan hal yang patut disyukuri malahan mereka harus diberikan ruang untuk terus (berani) berkarya.
Disisi lain, para sutradara muda pada perhelatan FTR mesti rajin berdiskusi, bertanya, membaca dan terus melatih insting, kepekaan daya jelajah artistik dalam bentuk pementasan.
Secara sadar dan sedini mungkin, para sutradara muda harus menanamkan sifat tahan kritik, nekat, penyabar, mau belajar, konsisten berkarya dan rendah hati. Kepemimpinan seorang sutradara harus dilakukan dengan penuh etos kesabaran dibarengi kemandirian untuk mau melatih diri baik sebagai aktor, menelaah kerja-kerja emansipatoris teater, mempelajari artistik, manajemen panggung serta menjadikan tujuan latihan berteater sebagai sebuah laboratorium kerja bukan sebatas rehearsal untuk naik pentas.
Tidak ada yang lahir tiba-tiba, semuanya membutuhkan proses. Begitu pula seorang sutradara, ia lahir bukan dengan konsep kenaikan pangka sehingga bagi seorang seniman teater tidak perlu buru-buru menjadi seorang sutradara, apalagi hanya demi ambisi atau gengsi.
****
HARAPAN
Terlepas dari itu semua, keberanian para peserta Festival Teater Remaja (FTR) tahun 2021 untuk berkarya dan mentas layak diapresiasi dengan sangat tinggi. Ini menjadi pertanda bahwa dunia seni pertunjukan dan kesenian menjadi dunia yang asyik, digemari sekaligus pembelajaran yang membahagiakan untuk anak muda Jambi daripada keluyuran dalam kegelapan narkoba, hedonisme serta kekerasan jalanan. Para seniman muda diharapkan terus berproses dengan penuh ketekunan, banyak membaca serta lengkapi diri dengan ide, riset yang detail, konsep terarah serta kreatifitas tanpa batas.
Semoga kedepan dilakukan pelatihan yang bersifat intens, langsung dan interaktif sebelum dilakukan perlombaan. Tujuannya, memberikan pelatihan sekaligus pendampingan terhadap para seniman muda sehingga nantinya mampu menghasilkan karya teater yang berkualitas sekaligus berkelas.
Terima kasih kepada Taman Budaya Jambi (TBJ) dibawah naungan Disbudpar Provinsi Jambi, yang selalu memberikan ruang bagi para milenial untuk terus berkarya sembari menyebarkan rasa cinta terhadap tradisi, seni dan budaya bangsa.