Oleh: Dr. Noviardi Ferzi (Pengamat)
Dalam beberapa hari ini publik Jambi cukup dibuat heboh dengan aksi nyaris baku hantamnya anggota DPRD Provinsi Jambi. Menariknya baku hantam ini berawal dari masalah penyertaan modal pemerintah kepada Bank Milik Daerah tersebut.
Namun, sebenarnya sebelum kejadian di DPRD tersebut, dunia maya di Jambi sudah cukup ramai membicarakan hal ini. Meski perdebatan itu kurang substantif namun cerita tentang pembangunan gedung Bank 9 yang baru, hingga cerita sang dirut maju Walikota Jambi, tak sepenuhnya lepas dari masalah kewajiban menambah modal tersebut.
Menelisik ke belakang atauran untuk menambah modal ini berasal dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang mengharuskan ketentuan modal inti suatu Bank minimal Rp 3 triliun.
Peraturan ini sebagai implementasi dari Peraturan OJK Nomor 12/POJK.03/2020 tentang Konsolidasi Bank Umum. Aturan ini akan diterapkan untuk semua bank tanpa kecuali pada 2022. Termasuk Bank Pembangunan Daerah (BPD) atau di Jambi bernama Bank 9 Jambi juga tak dapat mengelak dari ketentuan ini.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sendiri menyatakan tidak akan meninjau kembali atau menunda kebijakan modal inti bank yang dinaikkan dari sebelumnya Rp 100 miliar menjadi Rp 3 triliun pada akhir Desember 2022. Artinya, ini suatu hal yang pasti terjadi dan harus diikuti.
Tujuan aturan permodalan itu guna meningkatkan daya saing dari perbankan. Selain itu, bagi bank yang belum bisa memenuhi modal minimal Rp 3 triliun juga didorong untuk konsolidasi. Dalam ranah operasional konsolidasi merupakan tujuan penting bagi perbankan di Indonesia, karena bisa meningkatkan daya tahan pada industri baik perbankan secara umum maupun BPD.
Kebijakan penambahan modal ini dilakukan karena ekosistem perbankan yang harus beradaptasi dengan tren digitalisasi yang tentunya memerlukan permodalan yang lebih besar.
Dalam pandangan OJK, bank harus mempunyai modal inti yang cukup kuat sejala dengan telah terjadinya perubahan perilaku nasabah di era perbankan digital. Oleh sebab itu, dengan penerapan aturan ini, dia berharap bank-bank di Indonesia akan lebih kuat dari sisi permodalannya.
Dengan demikian, peran bank dalam menjalankan fungsi intermediasinya bisa lebih baik lagi. Dalam mengikuti trend perubahan perilaku nasabah yang makin terdigitalisasi. Cara berpikirnya, kalau tidak bisa melayani nasabah dengan baik, apakah mereka tidak akan ditinggalkan nasabahnya? Lari ke bank-bank besar, yang sudah digital. Jadi aturan ini suatu keharusan.
Kementarian Dalam Negeri (Kemendagri) sendiri selaku ” Bos” nya Pemda bersama Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tengah mengawasi 14 Bank Pembangunan Daerah (BPD) yang belum memenuhi modal inti sebesar Rp3 miliar.
Saat ini dari total 24 BPD dan 2 BPD syariah, 12 di antaranya telah memenuhi modal inti di atas Rp3 triliun, sedangkan 14 lainnya masih memerlukan perhatian khusus.14 BPD yang belum memenuhi modal inti, antara lain BPD Sulawesi Tengah dengan modal inti Rp1,06 triliun, BPD Bengkulu sebesar Rp1,06 triliun, BPD Lampung Rp1,11 triliun, BPD Sulawesi Tenggara Rp1,23 triliun.
Kemudian, Bank Maluku dan Maluku Utara yang memiliki modal inti sebesar Rp1,24 triliun, BPD Sulawesi Utara dan Gorontalo sebanyak Rp1,34 triliun, BPD NTB Syariah Rp1,37 triliun, lalu BPD Jambi membukukan modal inti sebesar Rp1,6 triliun. Selanjutnya, adalah BPD NTT yang baru memenuhi modal inti sebanyak Rp1,8 triliun dan BPD Kalimantan Selatan Rp1,89 triliun.
Tiga bank lainnya telah memiliki dana inti di atas Rp2 triliun, yaitu Bank Aceh Syariah dengan modal inti sebanyak Rp2,05 triliun, BPD DIY sebanyak Rp2,33 triliun serta BPD Kalimantan Barat mencatatkan modal inti sebanyak Rp2,81 triliun.
Intinya pemerintah diwakili Kementerian Dalam Negeri sependapat dengan OJK, Bank Pembangunan Daerah (BPD) perlu perhatian pemerintah dalam penguatan likuiditas, dukungan ke arah elektronik banking, serta penguatan SDM. Tentu, jika Mendagri sudah setuju, Pemerintah daerah termasuk Pemerintah Provinsi Jambi harus melaksanakan hal ini.
Saat ini industri Bank Pembangunan Daerah (BPD) terus survive meskipun pertumbuhan ekonomi terkontraksi akibat pandemi Covid-19. Kemampuan BPD dalam bertahan terlihat dari penyaluran kredit yang masih tumbuh positif dengan likuiditas yang masih cukup seperti bank nasional lainnya.
Data terakhir, BPD di Indonesia menunjukkan pertumbuhan positif meski terjadi pandemi COVID-19. Hingga September 2020, total aset BPD berjumlah Rp796,45 triliun, tumbuh 11,65 (yoy). Kemudian total kredit BPD mencapai Rp473,16 triliun, total dana pihak ketiga Rp646,7 triliun, dan laba bersih sebanyak Rp9,8 triliun.
Langkah BPD Menambah Modal
Untuk memenangi persaingan yang ketat di industri perbankan, dan mengejar target menjadi bank terkemuka (regional champion) di tahun 2022 nanti, bank milik pemerintah daerah atau Bank Pembangunan Daerah (BPD) harus memprioritaskan upaya penguatan modal.
Penguatan modal ini sebagai prioritas penting BPD saat ini dan di masa mendatang. Setidaknya ada empat strategi penguatan modal yang bisa ditempuh oleh BPD termasuk Bank 9 Jambi.
Pertama, melalui suntikan modal dari pemegang saham yakni pemerintah daerah. Kedua, memanfaatkan pasar saham untuk mengail modal melalui initial public offering (IPO) atau penjualan saham ke publik. Ketiga, mengurangi porsi setoran dividen ke pemegang saham (dividen payout). Terakhir, penerbitan obligasi senior maupun junior dan langkah merger-akuisisi.
Namun, saat ini memang rencana yang terekspose publik Jambi, baru sebatas suntikan modal dari pemerintah daerah. Sementara langkah yang lain menjadi strategi internal yang belum terpublikasi. Tentunya strategi lain amat membutuhkan visi dan kemampuan dari direksi yang sekarang mengelola. Mau dibawa kemana Bank Kebanggaan Masyarakat Jambi tersebut. Salam.