Jakarta – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) audiensi dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) membahas peningkatan kerja sama program pencegahan korupsi di Gedung KPK Merah Putih, Rabu (14/5/2025).
Sebagaimana diketahui, OJK sesuai kewenangan dan fungsinya, tentunya punya peran strategis dalam pencegahan korupsi, khususnya pada sektor jasa keuangan di Indonesia. Di sisi lain, jasa keuangan juga memiliki potensi risiko korupsi.
“Hal ini sebagaimana temuan KPK melalui kajian yang dilakukan Direktorat Monitoring pada tahun 2024 lalu. Kajian tersebut memetakan potensi korupsi pada Bank Pembangunan Daerah (BPD), khususnya terkait penyaluran kredit dan penanganan kredit bermasalah,”jelas Budi Prastyo Juru Bicara KPK menyampaikan. Kepada wartawan.
Lanjut Budi mengatakan KPK menemukan adanya enam permasalahan yang terindikasi fraud, kelalaian, dan/atau kelemahan regulasi dalam sejumlah kredit atau pembiayaan bermasalah di BPD yang dilakukan sampling.
Pertama, adanya indikasi fraud dalam penyaluran kredit/pembiayaan bermasalah sebagaimana tercantum dalam POJK Nomor 39 /POJK.03/2019. Dari dua belas jenis fraud dalam penyaluran kredit/pembiayaan yang tercantum dalam POJK tersebut, ditemukan empat jenis fraud yang terjadi pada BPD sampel, pada rentang waktu tahun 2013-2023, yakni: side streaming (penggunaan kredit/pembiayaan tidak sesuai peruntukkan), debitur fiktif, debitur topengan, dan rekayasa dokumen dengan nilai total penyaluran kredit/pembiayaan sebesar Rp 451,19 miliar.
Kedua, key person kredit/pembiayaan tidak dalam kepengurusan dan/atau bukan pemegang saham pengendali (PSP) perusahaan, baik langsung maupun tidak langsung. Pada tiga BPD yang menjadi sampel, terdapat empat penyaluran kredit macet tahun 2013-2020 dengan nilai total Rp260 miliar yang analisis kelayakan pemberian kreditnya lebih menitikberatkan pada profil key person dibandingkan profil perusahaan (debitur), meskipun key person tersebut bukanlah pengurus dan/atau PSP perusahaan.
Ketika terdapat permasalahan terhadap key person yang tidak termasuk dalam pengurusan perusahaan, misalnya key person meninggal dunia, debitur tidak melanjutkan pembayaran kewajibannya. Permasalahan ini terjadi karena sebagian BPD sampel tidak mewajibkan key person masuk dalam kepengurusan dan/atau PSP perusahaan baik langsung maupun tidak langsung.
Ketiga, termin pembayaran tidak diterima bank. Pada lima BPD yang menjadi sampel, terdapat sebelas penyaluran kredit/pembiayaan modal kerja berkolektibilitas macet tahun 2013-2020 dengan nilai total sebesar Rp72 milliar, yang berkaitan dengan termin pembayaran proyek/pekerjaan tidak diterima bank.
Permasalahan ini umumnya terjadi pada pembiayaan di sektor konstruksi yang terjadi dalam tiga bentuk, yakni: pengalihan rekening penerimaan pembayaran proyek/pekerjaan dari rekening BPD ke rekening bank lain tanpa sepengetahuan BPD, termin pembayaran proyek/pekerjaan yang masuk rekening penampungan tidak diblokir/dipotong oleh bank, pencairan kredit/pembiayaan jauh melebihi progres pekerjaan.
Fraud pengalihan rekening pembayaran diduga terjadi karena persengkongkolan antara debitur dan perwakilan bouwheer (bohir), sedangkan dugaan fraud terkait tidak diblokirnya rekening penampungan melibatkan pejabat BPD. Di sisi lain, pencairan kredit/pembiayaan yang jauh melebihi progres dikarenakan sebagian regulasi BPD tidak mewajibkan pencairan fasilitas berdasarkan progres pekerjaan.
Keempat, usaha/debitur tidak feasible untuk dibiayai. Pada lima BPD yang menjadi sampel, terdapat enam penyaluran kredit/pembiayaan modal kerja dengan kolektibilitas macet tahun 2007-2022 senilai Rp224,7 milliar yang terindikasi terkait usaha/debitur yang tidak feasible untuk dibiayai. Permasalahan ini terjadi karena di antaranya BPD mengabaikan karakter debitur, verifikasi dan validasi usaha tidak dilakukan dengan baik, pengabaian atas reviu risiko dan kepatuhan.
Kelima, jaminan untuk kredit/pembiayaan yang bermasalah. Terdapat jaminan yang bermasalah yang ditemukan pada sejumlah penyaluran kredit/pembiayaan senilai Rp234,4 miliar di tahun 2007-2022 yang berstatus macet.
Bentuk-bentuk jaminan bermasalah yang teridentifikasi dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian, yakni nilai jaminan di bawah nilai pencairan kredit/pembiayaan, jaminan tidak dimiliki/dikuasai debitur, dan dokumen kepemilikan agunan tidak dikuasai BPD.
“Kondisi tersebut terjadi diduga dikarenakan tidak dilakukannya penilaian berkala untuk jaminan dan ketidakharusan agunan yang diserahkan ke bank untuk dimiliki debitur/pihak yang terafiliasi debitur (kekerabatan/kepengurusan),”jelas Budi.
Keenam, adanya moral hazard dalam pembayaran kredit multi guna (KMG). Terdapat penyaluran kredit/pembiayaan multiguna di empat BPD dengan total nilai Rp20,867 miliar kepada anggota DPRD Provinsi periode tahun 2015-2019 dan 2019-2024 yang saat ini bersatus macet.
Hal ini disebabkan keengganan anggota DPRD Provinsi untuk melunasi kewajibannya, terutama ketika anggota DPRD tersebut terkena pergantian antar waktu (PAW).
PAW yang terjadi akibat kebijakan partai (sepanjang bukan karena keinginan sendiri maupun permasalahan hukum) telah dimitigasi risikonya dengan penggantian dari asuransi, namun untuk PAW yang di luar kriteria tersebut (misalnya pengunduran diri karena mencalonkan sebagai kepala/wakil kepala daerah) tidak dijamin asuransi.
“Selain itu juga, ditemukan bahwa sebagian anggota DPRD tidak melunasi kewajibannya meskipun tidak terkena PAW,”terang Budi Prasetyo
BPD diduga tidak gencar melakukan penagihan terhadap para anggota DPRD tersebut dikarenakan mereka adalah anggota DPRD Provinsi dimana Pemerintah Provinsi merupakan pemegang saham pengendali BPD.
Atas sejumlah permasalahan tersebut, KPK memberikan rekomendasi kepada sejumlah stakeholder. KPK merekomendasikan OJK dan Direktur Utama BPD untuk melakukan pendalaman dan/atau perbaikan berdasarkan kewenangannya, di antaranya meliputi audit/pendalaman terkait temuan, perbaikan regulasi untuk menutup kelemahan dalam penyaluran kredit/pembiayaan, dan pengaturan ruang lingkup diskresi.
“Khusus untuk Direktur Utama BPD, perlu untuk mengintensifkan penagihan kredit/pembiayaan macet kepada anggota DPRD yang menunggak,”ujarnya
Selain itu, KPK juga memberikan rekomendasi kepada Dirjen Bina Keuangan Daerah (BKD) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Dirjen Bina Konstruksi Kementerian Pekerjaan Umum terkait termin pembayaran yang tidak diterima BPD.
Rekomendasi tersebut disesuaikan dengan kewenangan masing-masing pihak untuk menerbitkan surat edaran atau regulasi yang memastikan bahwa Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) di lingkungan Pemda dan Kementerian Pekerjaan Umum tidak mengubah rekening penampungan pembayaran pekerjaan tanpa sepengetahuan bank sebagai kreditur.
Secara khusus, Dirjen BKD Kemendagri diminta agar menginstruksikan Kepala Daerah Provinsi selaku PSP untuk memastikan Direktur Utama BPD menerapkan skema pencairan kredit atau pembiayaan berdasarkan progres pekerjaan. (tugas)