Jakarta – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menahan Direktur Utama PT Permana Putra Mandiri, Ahmad Taufik (AT) sebagai Tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi pada pengadaan alat pelindung diri (APD) Covid-19 di Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dari Dana Siap Pakai (DSP) Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Tahun 2020.
“Atas kecukupan bukti permulaan, KPK telah menetapkan 3 orang sebagai Tersangka,”jelas Nurul Ghufron Wakil Ketua KPK menyampaikan keterangan ke media, Jumat (1/11/2024) dalam jumpa pers.
Adapun 3 orang ditetapkan sebagai Tersangka, yaitu :
1. BUDI SYLVANA (BS) selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) pada Pusat Krisis Kesehatan Kementerian Kesehatan RI,
2.SATRIO WIBOWO (SW) selaku Direktur Utama PT. Energi Kita Indonesia (EKI).
3. AHMAD TAUFIK (AT) selaku Direktur Utama PT. Permana Putra Mandiri (PPM)
Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron menyampaikan konstruksi perkaranya, bahwa: Pada Maret 2020, SHIN DONG KEUN (DK) Dirut PT Yonsin Jaya (YJ) selaku perusahaan yang mewakili para produsen APD menunjuk PT Permana Putra Mandiri (PPM) sebagai distributor resmi APD selama 2 tahun.
PT. GA Indonesia (GAI) selaku produsen APD juga menunjuk PT. Permana Putra Mandiri (PPM) sebagai distributor resmi APD selama 2 tahun
Pada 20 Maret 2020, Kemenkes melalui Pusat Krisis Kesehatan pada awal Covid-19 membeli APD sebanyak 10.000 Pcs dari PT Permana Putra Mandiri (PPM) dengan harga Rp. 379.500/set.
Kemudian pada 21 Maret 2020, TNI atas perintah Kepala BNPB pada saat itu, mengambil APD dari produsen APD milik PT. PPM di Kawasan Berikat, dan langsung mendistribusikan ke 10 Provinsi, dengan tidak dilengkapi dokumentasi, bukti pendukung, dan surat pemesanan.
Pada 22 Maret 2020, SHIN DONG KEUN (SDK) dan SATRIO WIBOWO (SW) selaku Dirut PT EKI menandatangani kontrak kesepakatan sebagai authorized seller APD sebanyak 500 ribu set dengan nilai tergantung nilai tukar dollar saat pemesanan.
Pada 23 Maret 2020, PT PPM dan PT EKI menandatangani kontrak kerja sama distribusi APD, dengan margin 18,5% diberikan kepada PT PPM
Pada 24 Maret 2020, dalam rapat, HARMENSYAH (HM) selaku KPA BNPB melakukan negosiasi harga APD dengan SATRIO WIBOWO (SW) agar diturunkan dari harga USD 60 menjadi USD 50.
Penawaran tersebut tidak mengacu pada harga APD (merk yang sama) yang dibeli oleh Kemenkes sebelumnya, yaitu sebesar Rp370.000.
Dalam rapat juga disimpulkan PT. PPM akan menagih pembayaran atas 170.000 set APD yang didistribusikan TNI dengan harga USD 50/set (sekitar Rp700.000)
Pada tanggal 25 Maret 2020, PT EKI dan PT Yonsin Jaya (YS) melakukan pemesanan 500.000 set APD dengan menyerahkan giro Rp113 Milyar bertanggal 30 Maret 2020. Dokumen kepabean dan dokumen lain sengaja menggunakan data PT PPM karena PT EKI tidak mempunyai ijin penyaluran alat kesehatan, tidak memiliki gudang, dan Non PKP.
Pada 27 Maret 2020, SATRIO WIBOWO (SW) menghubungi Kepala BNPB pada saat itu, diantaranya untuk segera dilakukan pembayaran terhadap 170.000 APD yang diambil TNI, dan meminta diberikan SPK dari BNPB agar sesuai dengan pengamanan raw material dari Korea.
Pembayaran pertama sebesar Rp10 Milyar dilakukan pada 27 Maret 2020 dari Bendahara BNPB kepada Rekening BNI PT. PPM, dimana pada saat itu belum ada kontrak ataupun surat pesanan.
Pembayaran kedua sebesar Rp109 Miliar dilakukan pada 28 Maret 2020 dari PPK Puskris Kemenkes kepada Rekening BNI PT. PPM.
Di sisi lain, HARMENSYAH (HM) baru menunjuk BUDI SYLVANA (BS) sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) untuk pengadaan APD di Kementerian Kesehatan RI pada 28 Maret 2020. Sedangkan Surat Keputusan Penunjukan tersebut dibuat backdate tertanggal 27 Maret 2020.
Pada rapat itu juga diterbitkan Surat Pesanan APD dari Kementerian Kesehatan kepada PT. PPM (Permana Putra Mandiri) sejumlah 5.000.000 Set dengan harga satuan USD 48,4, yang ditandatangani oleh Budi Sylvana (BS) selaku PPK, Ahmad Taufik (AT) selaku Dirut PT. PPM (Permana Putra Mandiri) dan Satrio Wibowo (SW) selaku Dirut PT. Energi Kita Indonesia (EKI).
Di mana dalam surat tersebut tidak terdapat spesifikasi pekerjaan, waktu pelaksanaan pekerjaan, pembayaran, serta hak dan kewajiban para pihak secara terperinci. Selain itu, Surat Pemesanan tersebut ditujukan kepada PT Permana Putra Mandiri (PPM), tetapi Energi Kita Indonesia (EKI) turut menandatangani Surat tersebut.m.
Pada tanggal 15 April 2020, Kementerian Kesehatan memberikan Surat Pemberitahuan kepada Direktur PT. PPM (Permana Putra Mandiri), bahwa sampai tanggal 15 April 2020 PT. PPM (Permana Putra Mandiri) telah mengirimkan APD sejumlah 790.000 set dari total 5.000.000 set APD yang sudah dipesann.
Kemudian pada 7 Mei 2020 dilakukan negosiasi ulang harga, disepakati Barang yang dikirim tanggal 27 April 2020 – 7 Mei 2020 dengan harga Rp. 366.850 dengan jumlah 503.500 set.
Barang yang dikirim setelah tanggal 7 Mei 2020 dengan harga Rp. 294.000. Bahwa sampai dengan tanggal 18 Mei 2020, Kemenkes telah menerima sebanyak 3.140.200 set APD.
Dalam konstruksi perkara tersebut, terdapat perbuatan hukum diantaranya yaitu: PT. Energi Kita Indonesia (EKI)
dan PT. Yonsin Jaya (YS) terlibat dalam mata rantai pengadaan APD tanpa memiliki Izin Penyalur Alat Kesehatan (IPAK).
Hal tersebut berlawanan dengan ketentuan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1191/Menkes/Per/VIII/2010, bahwa Penyalur Alat Kesehatan wajib memiliki IPAK yang diatur Kemenkes;
“Kerja sama antara PT. PPM, PT EKI, PT YS dan para produsen APD merupakan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Hal tersebut berlawanan dengan Pasal 4 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999, Dimana pengusaha dilarang secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan pemasaran sehingga terbentuk monopoli,”jelas Nurul Ghufron.
Lanjut ia, mengatakan PT EKI dan PT PPM tidak menyiapkan dan menyerahkan bukti pendukung kewajaran harga kepada PPK sehingga melanggar prinsip pengadaan barang/jasa pemerintah dalam penanganan keadaan darurat, yaitu: efektif, transparan, dan akuntabel.
Hal tersebut tidak sesuai dengan Surat Edaran LKPP nomor 3 Tahun 2020 huruf E nomor 2 dan 3, terkait Harga ditetapkan berdasarkan bukti kewajaran harga yang diberikan oleh penyedia. PT EKI ditetapkan sebagai penyedia APD, padahal tidak mempunyai pengalaman untuk mengadakan APD sebelumnya.
“Atas pengadaan tersebut, Audit BPKP menyatakan telah mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp319 Milyar (Rp 319.691.374.183,06),”kata Nurul Ghufron.
Selanjutnya, KPK akan melakukan penahanan terhadap Tersangka AT, untuk 20 hari pertama, terhitung sejak tanggal 1 s.d 20 November 2024. Penahanan dilakukan di Rutan Cabang Kelas 1 Jakarta Timur, Cabang Rumah Tahanan KPK Gd. ACLC atau C1.
Sebelumnya, KPK juga telah melakukan penahanan terhadap Tersangka BUDI SYLVANA (BS) dan SATRIO WIBOWO (SW) terhitung sejak 3 Oktober 2024, dan diperpanjang per 17 Oktober 2024.
“Tersangka AT, disangkakan telah melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,”jelasnya. (tugastri)