Jakarta – Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), Agus Pramusinto, menyebut pasca-pemilu 2024 KASN menerima 481 laporan dugaan pelanggaran netralitas ASN. Sebanyak 264 ASN di antaranya terbukti melanggar netralitas dan 181 lainnya telah dijatuhi sanksi oleh pejabat pembina kepegawaian (PPK) di instansi masing-masing berdasarkan rekomendasi KASN.
“Padahal dalam konteks demokrasi, netralitas ASN menjadi prasyarat utama untuk pemilu yang jujur, adil, dan demokratis. Namun, realitas terbaru menunjukkan bahwa pelanggaran netralitas ASN masih saja terjadi, yang dapat mengancam integritas dan kepercayaan masyarakat terhadap proses demokrasi,” ungkap Agus dalam Webinar Netralitas ASN, “Belajar dari Pemilu 2024, Menuju Pilkada Serentak 2024”, Rabu (3/4/2024).
Ketua KASN menyampaikan bahwa potensi pelanggaran netralitas sejatinya tidak hanya terjadi pada aspek politik. Namun, hal itu juga dalam bentuk pelanggaran imparsialitas pada aspek pelayanan publik, manajemen ASN dan pengambilan keputusan, khususnya bagi pejabat-pejabat publik.
“Jelang pilkada, kondisi ini tentunya membutuhkan strategi yang tepat untuk mewujudkan pesta demokrasi yang kondusif. Pengawasan bisa lebih optimal apabila didukung dengan regulasi dan kewenangan yang kuat, serta melibatkan pengawasan partisipatif oleh civil society. Hal ini dikarenakan pengawasan netralitas ASN oleh pemerintah, dinilai masih belum memiliki ketegasan sanksi yang membikin jera pelakunya,”terangnya.
Sementara itu, pengamat politik, Khoirul Umam, menyarankan agar instansi pengawas yang tergabung dalam Satuan Tugas Netralitas harus berani mengekspos setiap kasus dan hasil pembinaan serta pengawasan netralitas pegawai ASN secara terbuka.
“Jika ASN sudah berjuang menjaga netralitas mereka, namun aktor politiknya mengacak-ngacak, ya sama saja. Jadi perlu melibatkan elemen kekuatan civil society, agar praktik mengintervensi birokrasi dan menekan ASN bisa bersama masyarakat kita bawa ke ruang terang benderang,” ungkap Khoirul.
Lebih lanjut, Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, menegaskan supaya civil society tidak hanya fokus mengawasi hasil perolehan suara, tapi juga prosesnya. Sebab malapraktik pemilu prinsipnya dapat terjadi pada tiga variabel, yakni manipulasi aturan pemilu, manipulasi pemilih, dan manipulasi suara.
“Masyarakat harus tahu bahwa ada pengaturan berbeda antara Pemilu dan Pilkada. Undang-Undang Pilkada jauh lebih progresif dibandingkan Undang-Undang Pemilu dikarenakan perbedaan aturan tentang politisasi ASN sebagai tindak pidana. Pada Undang-Undang Pemilu, politisasi ASN hanya dikategorikan sebatas pelanggaran administratif dan etik. Hasilnya dapat kita lihat pada tingginya angka putusan pengadilan tindak pidana atas pelanggaran netralitas ASN pada Pilkada 2018 (33 putusan) dan 2020 (73 putusan). Namun, nihil pada Pemilu 2019,” sebut Titi.
Titi juga mempertanyakan keputusan pemerintah melikuidasi KASN. Hal ini dikhawatirkan akan mengurangi kinerja pengawasan netralitas ASN ke depan yang semakin kompleks. “Pemerintah semestinya memperkuat lembaga pengawal netralitas dan meritokrasi ASN yang independen.”
Kemudian, Co-founder Total Politik, Arie Putra, mengakui bahwa saat ini aktivisme masyarakat di ruang digital juga masih berpotensi dibatasi oleh algoritma platform yang digunakan. Informasi terkait isu pelanggaran netralitas ASN di daerah yang dianggap kurang menarik bisa saja hilang dari pembicaraan publik.
“Ada baiknya cara-cara konvensional dilirik kembali sebagai sarana edukasi politik dan partisipasi pengawasan netralitas ASN oleh masyarakat. Hal ini untuk memastikan bahwa setiap daerah mendapatkan eksposur yang berimbang,”pesannya. (tugas).