Jakarta – Forum Konsumen Berdaya Indonesia (FKBI) menyampaikan keprihatinan serius atas penundaan penerapan kebijakan pelabelan gizi khusus (nutri-level) pada produk makanan dan minuman tinggi gula, garam, dan lemak (GGL).
Kebijakan yang semula dirancang untuk menekan lonjakan obesitas dan diabetes kini ditunda hingga tahun 2027, meskipun prevalensi penyakit tidak menular telah mencapai tingkat darurat nasional.
FKBI menilai bahwa penundaan ini merupakan bentuk pengabaian terhadap hak konsumen atas informasi yang transparan dan perlindungan kesehatan yang adil. Dalam satu dekade terakhir, prevalensi obesitas meningkat dua kali lipat, dan jumlah penderita diabetes telah menembus 19,5 juta jiwa—menjadikan Indonesia salah satu negara dengan beban penyakit tertinggi di Asia Tenggara.
“Menunda pelabelan nutri-level sama saja dengan menunda perlindungan terhadap jutaan konsumen yang setiap hari terpapar produk tinggi GGL tanpa informasi yang memadai. Ini bukan sekadar soal regulasi, ini soal nyawa dan kualitas hidup,” tegas Tulus Abadi, Ketua FKBI menyampaikan kepada wartawan, Jumat (19/9/2025).
FKBI juga menyoroti laporan Reuters yang mengungkap adanya tekanan diplomatik dari pemerintah Amerika Serikat di era Presiden Trump, serta protes dari produsen makanan Amerika yang khawatir ekspor mereka ke Indonesia akan berkurang hingga US$54 juta per tahun.
Ketua FKBI menegaskan bahwa kedaulatan kebijakan pangan Indonesia tidak boleh dikompromikan oleh kepentingan dagang asing.
“Kami menolak keras segala bentuk intervensi yang melemahkan perlindungan konsumen Indonesia. Regulasi gizi harus berpihak pada rakyat, bukan pada neraca perdagangan negara lain,” tambah Tulus
Lanjut ia menyampaikan FKBI menilai bahwa sistem pelabelan produk pangan/minuman merupakan instrumen strategis untuk meningkatkan literasi gizi dan mendorong reformulasi produk oleh industri. Label visual yang jelas dan berbasis warna dapat membantu konsumen dari berbagai latar belakang pendidikan untuk membuat pilihan produk yang aman dan menyehatkan.
Sebagai respons atas penundaan ini, FKBI akan mengambil langkah-langkah berikut:
1. Mendorong percepatan regulasi dan membangun kesadaran konsumen tentang pentingnya pelabelan gizi yang transparan.
2. Mengajukan audiensi resmi dengan BPOM dan Kementerian Kesehatan, untuk menyampaikan rekomendasi teknis, narasi konsumen terdampak, dan studi dampak kesehatan.
3. Mengembangkan simulasi dampak regulasi terhadap prevalensi penyakit dan beban ekonomi nasional, termasuk potensi penghematan biaya kesehatan jika pelabelan diterapkan lebih awal.
4. Menggalang dukungan dari organisasi masyarakat sipil, akademisi, dan media, untuk membentuk koalisi advokasi yang kuat dan berkelanjutan.
“FKBI juga menyerukan agar pemerintah segera menerapkan sembari mempercepat harmonisasi regulasi lintas sektor terhadap label makanan atau minuman terutama minuman manis dalam kemasan,”imbuhnya. (tugas).