Oleh: Asutra Ulesko, SH
Advokat dan & Konsultan Hukum
Seiring dengan telah disahkannya RUU-KUHP menjadi Undang-undang oleh pemerintah dengan DPR diakhir tahun ini, maka keinginan bangsa kita untuk memiliki KUHP dengan nuansa kearifan budaya lokal bangsanya sendiri sudah terwujud. rancangan KUHP sebelumnya pada era Jokowi periode kedua di tahun 2020 pernah akan dilakukannya pengesahan menjadi undang-undang akan tetapi dengan banyak menuai penolakan dari berbagai elemen masyarakat, terutama dari kalangan mahasiswa yang sangat gentol menentang pengesahannya sehingga menyebabkan RUU-KUHP batal untuk disahkan menjadi Undang-Undang.
Kalau diibaratkan KUHP peninggalan kolonial ibarat baju sudah sangat lusuh dan banyak bolong-bolongnya sehingga jauh dari kata layak untuk digunakan serta sangat mendesak untuk diganti dengan KUHP yang benar-benar mencerminkan jati diri bangsa Indonesia. Keinginan bangsa Indonesia untuk memiliki KUHP sendiri sudah ada sejak negara dimerdekakan dari penjajah dan barulah terbentuk di tahun 1958 dengan dinisiasinya berdiri lembaga Pembinaan Hukum Nasional (LPHN) yang mana dalam perkembangannya berubah menjadi Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN). pada tahun 1993 rumusan pertama RKUHP sudah diselesaikan oleh team perumus. akan tetapi usulan yang dimaksud ditolak dan tidak ditindaklanjuti oleh menteri kehakiman saat itu.
Proses pembahasannya sempat tertunda dalam waktu yang cukup panjang meskipun diawal-awal reformasi di tahun 2001 – 2004 pernah masuk ke program legislasi nasional (prolegnas) namun akhirnya tetap kandas untuk disahkan menjadi undang-undang. pada periode pertama pemerintahan Presiden SBY-JK dibawah kepemimpinan Hamid Awaluddin sebagai Menteri Hukum dan Hak Asasi manusia diajukan kembali dalam proglenas akan tetapi untuk kesekian kalinya tertunda disahkan menjadi undang-undang. Barulah di era Presiden Jokowi di periode kedua dilakukan pembahasan RUU-KUHP dan hampir disahkan menjadi Undang-Undang di tahun 2020 akan tetapi menuai banyak penolakan dari elemen masyarakat sehingga pengesahannya kembali tertunda.
Kita ingat ditahun yang sama pemerintah juga membuat gebrakan dalam hal pembuatan peraturan perundang-undangan yang mana ditahun itu juga disahkannya Undang-Undang Cipta Kerja dengan teknis Omnibus Law (menggabungkan beberapa peraturan perundang-undangan menjadi satu undang-undang) metode yang biasa digunakan dinegara dengan menganut sistem common law sangat berbeda dengan sistem yang dianut oleh negara civil law) seperti Indonesia, sama seperti RUU-KUHP bedanya meskipun mendapat kritik tajam dari berbagai elemen masyarakat akan tetapi pemerintah tetap menetapkannya sebagai Undang-Undang. walaupun akhirnya dilakukan uji formil ke MK dan putusannya dikabulkan, pemerintah dan DPR diberikan waktu selama 2 tahun semenjak putusan diucapkan untuk memperbaiki undang-undang cipta kerja karena proses pembentukannya tidak sesuai dengan teknis pembentukan peraturan perundang-undangan menurut Undang-undang nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Kembali ke RUU-KUHP menjadi topik ini, setelah 77 tahun kemerdekaan bangsa Indonesia baru di era pemerintahan Jokowi-Ma’aruf berhasil disahkannya aturan hukum pidana yang menjadi cerminan budaya lokal bangsa kita sendiri. Terlepas dari pasal-pasal kontroversi yang menjadi penolakan dari berbagai elemen masyarakat kita patut mengapresiasi keinginan yang kuat dari pemerintahan Jokowi untuk meninggalkan warisan phenomenal yang sangat berharga bagi bangsanya. dikatakan phenomenal karena semenjak Presiden pertama RI Soekarno keinginan untuk melahirkan undang-undang Pidana sendiri sudah diinisasikan dan barulah disahkan menjadi Undang-undang di eranya presiden Jokowi. selama waktu 77 tahun kemerdekaan dan 7 presiden yang bergiliran memimpin bangsa ini hanya dimasa pemerintahan Presiden Jokowi keinganan bangsa kita bisa diwujudkan.
Akan tetapi KUHP yang baru disahkan ternyata masih menyisahkan catatan yang menghantui rasa ketakutan rakyat karena dikhawatirkan akan disalahgunakan untuk membungkam kebebasan mengkritik pemerintah yang sedang berkuasa. Bahkan Kita ingat pada 4 Desember 2006 Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan No. 013-022/PUU-IV/2006 telah menghapus pasal penghinaan presiden dan wakil presiden dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). KUHP yang baru melalui pasal 218 ayat 1 kembali menghidupkan lagi pasal yang sudah dibatalkan oleh MK. Namun masih tetap ada jalan untuk membatalkan pasal-pasal yang dinilai bertentang dengan konstitusi dengan melakukan uji materil ke Mahkamah Konstitusi akan tetapi legacy pemerintah untuk mewariskan KUHP baru ternodai oleh aturan pasalnya yang dinilai akan memundurkan demokrasi kita. Meskipun semasa Presiden Jokowi menjabat sampai purna tugas di tahun 2024 penerapannya masih ditangguhkan akan tetapi siapa yang bisa jamin pemimpin yang berkuasa setelahnya nanti.