Catatan: Mursyid Sonsang
(Wartawan Senior dan Alumni Lemhannas PPSA 18)
Sebagian orang menyebut pemilihan legislatif 2024 adalah pemilu paling brutal sepanjang sejarah. Para politisi yang tumbang di pileg Februari lalu tak sungkan mengumbar kekecewaannya. Mereka wara – wiri di layar kaca atau di medsos kompak menuding money poltik penyebabnya. Mereka tak pula mengelak bahwa praktik lacur itu juga mereka lakukan hanya saja kalah dari sisi kuantitas.
Anggaplah benar bahwa money politik di pileg sebab utama arus besar perubahan komposisi legislatif 2024. Warga sebagai pemilih adalah tokoh antagonisnya. Menerima suap yang seharusnya tabu.Para caleg yang tumbang adalah korban dan layak mendapat simpati serta rasa iba.
Lalu bagaimana dengan para caleg terpilih, apa posisi mereka dalam permainan ini ? Mau tak mau kita harus mengakui bahwa sementara ini mereka lah para juara. Mereka memahami bagaimana permainan ini dimainkan. Mereka lebih update dengan “harapan” jangka pendek pemilih. Walaupun mungkin untuk jangka penjang mereka tak perlu lagi peduli.
Seorang caleg yang ikut tersisih di pileg lalu berpesan pada penerusnya, tak usahlah repot – repot mengejar prestasi atau terlalu serius menyerap dan memperjuangkan aspirasi. “Bekerjalah biasa – biasa saja, kumpulkan modal sebanyak – banyaknya, nanti di Pemilu berikutnya cuma itu yang bisa menolong,” kata nya sinis.
Ia mengaku menyesal lantaran masih menggunakan standar 2019 untuk kegiatan money politiknya. Semestinya 2024 sudah dua kali lipat dari standar 2019. Akankah di Pilkada serentak 27 November nanti gaya pemilih masih seperti di pileg ? Siapa yang berani bayar tinggi maka ia yang akan dipilih? Atau malah akan ada fenomena baru ? sukar menebak perubahan perilaku pemilih. Tapi dalam setiap moment elektoral mereka kian waktu kian cerdas. Mereka tak lagi mau menyanyikan lagu kecewa saat harapan mereka ditinggal pupus orang yang terpilih. Mereka lebih memilih menjadi ‘pemain’ seperti para peserta elektoral itu. Bahkan mereka mengambil porsi lebih besar, penentu !
Hati – hati wahai para tim sukses. Apapun cerita di setiap pemiliu, faktanya perilaku pemilih terus bergeser tanpa bisa diprediksi. Kejenuhan akibat seringnya moment elektoral boleh jadi penyebab dinamisnya perilaku pemilih itu. Mereka berhenti mengharapkan kualitas pemilu karena nyatanya tak jua memberi perubahan baik pada kehidupan mereka. Masyarakat cenderung pragmatis untuk kepentingan sesaat yang lebih jelas.
Melihat fenomena pileg lalu, setidaknya ada empat faktor yang harus dimiliki kontestan. Pertama popularitas, elektabilitas, jaringan dan logistik. Banyak contoh kontestan pemilik popularitas dan elektabilitas tinggi tapi tumbang karena tak memadainya logistik yang digelontorkan. Pun sebaliknya pemilik logistik berlimpah tapi ibarat membuang garam ke laut lantaran tak punya modal popularitas dan elektabilitas.
Bahkan ada yang populer, elektabilitas selalu tertinggi di setiap survey, tercitra pula sebagai orang kaya tapi tetap tak berhasil. Ternyata ia tak punya tim sebagai jaringan yang mumpuni untuk melalukan penetrasi akhir. Semua sumberdayanya tertumpuk tak beredar.
Jadi hati – hati wahai para kontestan Pilkada. Popularitas, elektabilitas bahkan isi tas bukanlah jaminan. Terpenting selain itu adalah jaringan. Tim yang terstruktur hingga TPS. Bagaimana tim itu kemudian diorganisir dengan efektif, membuat upaya pemenangan berjalan efektif pula.
Sebab pada akhirnya saat paling krusial adalah dua menit di bilik suara. Memory mana yang paling berhasil mendorong untuk mencoblos siapa. Di pilkada yang kontestannya lebih sedikit kecenderungan sama – sama melakukan money politik terbuka lebar. Kualitas janji dan program serta intensitas sentuhan atau doktrin tim menjadi faktor terkait yang sangat berpengaruh.***